Semesta Ibu

Karim Lahiri
2 min readMar 20, 2023

--

Ibu adalah simbol keperkasaan sejati.

Photo by Paul Cusick on Unsplash

KONON rasa sakit ibu kala melahirkan setara dua puluh kali patah tulang serempak. Membayangkannya saja sudah merinding. Namun, bagi ibu rasa rindu dan cintanya kepada buah hati tak terbendung. Ia merintih kesakitan bahkan berjam-jam. Senyum seketika setelah jabang bayi melintasi alam. Tangis pecah dikegentingan menggantikan suara ibu yang menjerit sedari tadi.

Tangisan itu sejenak meredakan perih. Itu tangis bahagia. Bayinya sehat. Ibu sumringah. Bagaimana bisa setelah merintih lalu sumringah seketika. Yah, hanya ibu yang bisa melakukannya. Jika kamu bisa, hampir dipastikan “gila lu dro”. Eh, Maap.

Umpama kita hari ini diberi rasa sakit, marahlah sejadi-jadinya kepada sesiapa pun juga yang beri rasa sakit itu. Tidak dengan ibu. Ia memeluknya, menciuminya, tak keluh, apalagi marah kepada bayi itu. Adalah kita jabang bayi-bayi itu.

Ibu merawat. Entah di mana kita lahir? Oleh siapa? Makan apa? Kita lupa, kita hanya tau bahwa hari ini kita sudah dewasa. Kanak-kanak yang ditimang-timang, disuapi, bahkan diceboki di rumah kita atau di tetangga kita. Itu adalah kita dahulu.

Si kanak-kanak itu amat polos. Menyebut “Ibu” saja kesulitan. Diajarilah dia kata yang mudah. “Mama”. Berulang-ulang, berbulan-bulan, hingga bisa. Lalu si kanak-kanak polos itu sudah mampu mengucap “mam” untuk memanggil ibu. “ma, mah, mam, mama” demikian berucap. Ibu menghampiri, masih juga manggil-manggil. Disodorinya ASI, makanan, diam seketika. Untuk berbagai kebutuhan saja hanya sanggup satu kosa kata. ibu salah paham? Iya, tapi tidak salah memaklumi. Kesal? Iya, tapi tidak menyesal. Pasrah? Iya tapi tidak menyerah.

Pencetus Peradaban

Nenek moyang kita kala berburu, ibu di goa-goa, di pohon-pohon, menunggu mewanti-wanti dan harap-harap cemas. Selamatkah para lelaki? Dapatkah buruan hari ini? Bila dapat musibah, para ibu merawat. Dapat buruan, para ibu memasak. Sembari merawat anak juga memperbaiki tempat tinggal.

Lelah hidup berpindah-pindah, para ibu menyayangkan tempat tinggal semula yang sudah dibenahi, dibuat nyaman. Apa boleh buat, hewan semakin langka, buruan semakin jauh. Mau tidak mau mesti berpindah.

Suatu ketika, seperti sedia kala menunggu para lelaki pulang dari berburu. Para ibu mencoba-coba tanam benih. Tumbuh. Hingga merimbuni sekitar tempat tinggal. Umbi-umbian dan berbagai tanaman ada di dekat. Dibangunlah kediaman lalu menetap.

Demikianlah para ibu membuat perubahan-perubahan besar hingga hari ini. Ibu dinilai sebagai awal dari setiap peradaban. Dimulai dari perilaku baik yang diulang-ulang, petuah-petuah, menjadi kebiasaan, membudaya, lalu menjadi peradaban.

Ibu adalah perempuan yang ada di sekitar kita: istri, saudara, dan orang tua. Ibu adalah semua manusia yang memerankan ketangguhan perempuan. Ibu adalah simbol keperkasaan sejati. [*]

--

--

Karim Lahiri
Karim Lahiri

Written by Karim Lahiri

Menulis yang dipikir, tetap berpikir walaupun tidak menulis.

No responses yet